KEPEMIMPINAN ANDI
PADA BIROKRASI PUBLIK DI KABUPATEN SOPPENG
Oleh: Dr. Harbani P., M.Si
Jurusan Administrasi Niaga Politeknik Negeri Ujung Pandang
Alamat Kantor: Perintis Kemerdekaan KM 10 Rumah: Perumdos Unhas Blok P. Jl Henry Ford No.12A Telp. Kantor 0411-585365 Fax 0411-586 043 Telp. Rumah 0411-590 631/HP. 081242221999
E.mail: harbanip@yahoo.co.id
ABSTRAK
Hasil penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan Penerapan Gaya Kepemimpinan Pada Birokrasi Publik. Metode penelitian yang digunakan adalah memadukan penelitian kuantitatif dan kualitatif (triangulasi) dengan menggunakan teknik sampling jenuh yaitu mengambil sampel dari keseluruhan populasi, yaitu sebanyak 48 orang Hasil penelitian menunjukkan gaya kepemimpinan yang dominan diterapkan pada birokrasi publik di Kabupaten Soppeng adalah gaya kepemimpinan “sorong pawo”, yaitu semua keputusan atau kebijakan ditentukan oleh elit pimpinan, dalam hal ini pemimpin lebih cenderung menggunakan instruski kepada bawahan. Penerapan gaya sorong pawo tidak terlepas dari lingkungan dan kronologis budaya tradisional kerajaan, yaitu diadopsinya sistem budaya kerajaan masuk ke dalam sistem pemerintahan. Internalisasi nilai-nilai budaya kerajaan masuk ke dalam birokrasi yang memunculkan watak birokrasi yang cenderung menempatkan dirinya merasa lebih tinggi derajatnya daripada masyarakat laiinya dan juga dalam hubungan jenjang tersebut diwarnai oleh pola-pola hubungan patron klien dengan pimpinan. Kepemimpinan sorong pawo sudah berlangsung cukup lama yaitu kurang lebih 657 tahun, karena tidak ada bawahan yang berani melawan atau membantah terlepas benar atau salah, karena dianggap kebenaran sebagai suatu tradisi sistem kerajaan. Kata Kuci: Kepemimpinan Birokrasi dan Birokrasi PublikA. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Era reformasi telah menjadi pintu gerbang dalam perubahan paradigma birokrasi dari sentralisasi menuju desentralisasi, sehingga otonomi daerah menjadi kuncinya. Perubahan paradigma ini berarti perubahan struktur birokratis yang rumit menjadi ramping, sehingga perlu pemangkasan birokrasi. Dalam transformasi birokrasi, selain konsep yang matang, hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah pemimpin birokrasi. Dalam konteks pemimpin birokrasi terutama dalam kaitannya dengan gaya kepemimpinan yang diterapkan, kepemimpinan yang diharapkan adalah kepemimpinan yang efektif. Untuk menciptakan kepemimpinan yang efektif, maka pemimpin diharapkan dapat
2
menerapkan kepemimpinan situasional, mengingat perubahan situasi dan kondisi begitu cepat dalam kehidupan kemasyarakatan sekarang ini yang sangat "multi-kompleks" dan "mega-kompetisi". Kepemimpinan birokrasi menjadi sangat penting sebagai prasyarat utama dan faktor penentu keberhasilan penyelenggaraan pelayanan publik. Pejabat karier dalam organisasi harus memiliki visi ke depan Widodo (2006:145), visi tersebut mencakup upaya yang mampu melihat jangkauan ke depan yang berskala nasional maupun global. Para pemimpin akan mampu menjangkau atau melihat ke depan organisasinya manakala mereka memiliki pengetahuan, wawasan, dan pandangan ke depan yang luas. Pemimpin yang memiliki visi ke depan harus tahu akan di bawa ke mana organisasi dan tugas-tugas pekerjaan yang dibebankan kepadanya. Jadi pemimpin pejabat karier yang dibutuhkan adalah pemimpin yang mampu mentransformasi nilai-nilai menjadi tindakan, visi menjadi realitas, rintangan menjadi inovasi, perbedaan menjadi solidaritas, dan resiko menjadi penghargaan, kata Kouzes & Posner (2004:xiv). Kepemimpinan birokrasi dapat diartikan sebagai suatu proses mempengaruhi para bawahannya untuk menyelesaikan suatu pekerjaan dan mengarahkan organisasi agar lebih kompak dan kondusif, dengan cara menerapkan konsep, nilai, etika, karakter, pengetahuan dan keterampilan melalui kewenangan yang dimilikinya. Legitimasi kewenangan ini pula yang digunakan Weber ketika menyusun model kepemimpinan birokrasi. Model kepemimpinan birokrasi Weberian, sebagaimana karakteristik kelembagaan birokrasi Weber (1947), cenderung berorientasi pada kekuasaan secara rasional, legal dan hirarkis, serta pengawasan yang kaku. Kepemimpinan birokrasi publik selama ini masih cenderung hanya menerapkan satu gaya kepemimpinan untuk semua jenis kematangan, yaitu gaya instruksi, sehingga berdampak kepada kinerja pelayanan yang rendah Sartono (2004:103). Kepemimpinan seorang pejabat tidak lebih dari sebagai figur penguasa, yang sangat terbelenggu oleh aturan-aturan formal, sehingga tidak memungkinkan terjadinya apresiasi-apresiasi. Implikasi yang muncul terhadap Sumber Daya Manusia (SDM) aparatur adalah keterikatan dengan peraturan formal, sehingga tidak ada ruang untuk melakukan inisiatif, langkah inovasi maupun pengembangan yang signifikan. Oleh karena itu, sudah saatnya orientasi gaya kepemimpinan birokrasi yang bersifat satu gaya diubah kearah gaya kepemimpinan situasional, yaitu gaya yang didasarkan pada situasi dan kondisi kematangan bawahan.
Kepemimpinan birokrasi feodal yang menekankan pada kekuasaan, pendekatan "top down" dan didasarkan pada hubungan formalitas sudah tidak relevan lagi karena saat ini tantangan yang dihadapi tidak hanya bersifat internal namun sudah bersifat global. Riset Lantu dkk (2007:4), menemukan bahwa birokrasi pemerintah. "kalau masih bisa dipersulit, kenapa harus dibuat gampang". Izin dalam bidang ekspor misalnya Indonesia membutuhkan waktu 150 hari dibandingkan Thailand dan Cina yang hanya butuh waktu 30 hari. Kondisi yang tidak berbeda dapat ditemui jika ditelaah lebih dalam ke struktur birokrasi terbawah. Ternyata pengurusan Kartu Tanda Penduduk (KTP), Akte Kelahiran,
3
Akte Kematian. Kartu pencari kerja, Izin bangunan dan dokumen penting lainnya masih membutuhkan waktu lama serta biaya yang tinggi. Sedangkan alasan pentingnya dilakukan penelitian terhadap masalah Kepemimpinan Birokrasi adalah karena: (1) kepemimpinan merupakan unsur yang paling utama dalam organisasi, karena baik buruknya perilaku bawahan tergantung pada perilaku pemimpin dalam membina bawahannya Waluyo (2007:173), (2) kemudian Creech (1996:292), mengatakan bahwa tidak ada kelompok kerja yang jelek, yang ada adalah pemimpin yang jelek. Oleh karena itulah Peneliti merasa tertarik untuk meneliti gaya apa yang diterapkan para pemimpin birokrasi.
2. Rumusan Masalah dan Tujuan Penelitian
Berpijak pada hal tersebut di atas, maka permasalahan pokoknya adalah "Penerapan gaya kepemimpinan kurang disesuaikan dengan tingkat kematangan pegawai”. Untuk membatasi permasalahan dalam penelitian ini, maka dirumuskan masalah penelitian dalam bentuk pertanyaan penelitian yaitu: “Gaya kepemimpinan apakah yang diterapkan pada birokasi publik”? . Sedangkan tujuan penelitian yaitu: untuk mendeskripsikan secara umum tentang penerapan gaya kepemimpinan yang diterapkan pada pirokrasi publik.
B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Gaya Kepemimpinan
Gaya pada dasarnya berasal dari bahasa Inggris "Style" yang berarti mode seseorang yang selalu nampak yang menjadi ciri khas orang tersebut. Gaya merupakan kebiasaan yang melekat pada diri seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas kepemimpinannya. Stoner (1996:165), mengatakan bahwa gaya kepemimpinan (leadership style) adalah berbagai pola tingka laku yang disukai oleh pemimpin dalam proses mengarahkan dan mempengaruhi pekerja. Sedangkan gaya kepemimpinan menurut Thoha (2004:49), adalah merupakan norma perilaku yang digunakan oleh seseorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain. Sedangkan Gaya pemimpin menurut Hersey & Balnchard (1982:152), adalah pola-pola perilaku konsisten yang mereka terapkan dalam bekerja dengan dan melalui orang lain seperti dipersepsikan orang-orang itu. Pola-pola itu timbul pada diri orang-orang pada waktu mereka mulai memberikan tanggapan dengan cara yang sama dalam kondisi yang serupa, pola itu membentuk kebiasaan tindakan yang setidaknya dapat diperkirakan bagi mereka yang bekerja dengan pemimpin itu. Dari pendapat para ahli tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa gaya kepemimpinan adalah suatu cara atau teknik yang dipergunakan oleh seorang pemimpin dalam mempengaruhi, mengarahkan, mendorong, dan mengendalikan bawahannya dalam rangka pencapaian tujuan organisasi secara efisien dan efektif.
2. Kepemimpinan Birokrasi
Kepemimpinan Birokrasi dapat diartikan sebagai suatu proses mempengaruhi para bawahannya untuk menyelesaikan suatu pekerjaan dan mengarahkan organisasi agar lebih kompak dan kondusif, dengan cara menerapkan konsep, nilai, etika, karakter, pengetahuan dan keterampilan melalui
4
kewenangan yang dimilikinya. Legitimasi kewenangan ini pula yang digunakan Weber ketika menyusun model kepemimpinan birokrasi. Model kepemimpinan birokrasi Weberian, sebagaimana karakteristik kelembagaan birokrasi Weber, cenderung berorientasi pada kekuasaan secara rasional, legal dan hirarkis, serta pengawasan yang kaku. Pemimpin Birokrasi merupakan tulang punggung dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat sebagai abdi negara dan abdi masyarakat, Said (2007:331). Oleh karena pejabat karier inilah mempunyai bawahan secara langsung memberikan pelayanan kepada masyarakat. Sedangkan lembaga yang memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat adalah dinas, dalam hal ini dinas daerah. Dinas daerah merupakan unsur pelaksana pemerintah daerah yang dipimpin oleh seorang kepala dinas yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada kepala Daerah melalui Sekretaris Daerah. Kepemimpinan Birokrasi merupakan permasalahan tersendiri yang harus dijawab melalui langkah-langkah penyelesaian dalam pendekatan dan gaya kepemimpinan yang harus diterapkan. Lantu (2007:27), menyatakan bahwa masa sekarang ini dibutuhkan filosofi baru kepemimpinan, yaitu kepemimpinan pelayan oleh Jakob dalam Lantu (2007: xi), menyebut sebagai kepemimpinan "posmodernis", yaitu filosofi yang secara simultan bisa meningkatkan pertumbuhan pribadi pegawai serta memperbaiki kualitas dan pelayanan birokrasi melalui keterlibatan setiap pegawai dalam organisasi dalam proses pembuatan keputusan serta perilaku yang etikal dan bertanggung jawab. Dalam birokrasi pada umumnya dan khususnya birokrasi public, pemimpin memegang peranan penting yang sangat strategis, berhasil tidaknya birokrasi public menjalankan tugas-tugas pelayanan sangat ditentukan oleh kualitas pemimpinya. Oleh karena itu pemimpin birokrasi sangat mendominasi semua aktivitas yang dilakukan birokrasi. Pada konteks birokrasi publik yang sangat paternalistic, dimana para staf (bawahan) bekerja selalu tergantung kepada pemimpin. Apa bila pemimpin tidak memiliki kemampuan kepemimpinan, maka tugas-tugas yang sangat kompleks tidak dapat dikerjakan dengan baik, Dalam kenyataannya tidak sedikit pemimpin birokrasi public dipelbagai tingkatan (level) yang tidak memiliki kemampuan untuk menjadi pemimpin yang baik. Hal ini disebabkan oleh system rekruitmen yang tidak didasarkan pada kompetensi. Berbagai riset kepemimpinan pada birokrasi public, menunjukkan masih lemahnya kepemimpinan dalam berbagai level atau tingkatan. Tingkat penguasaan kepemimpinan pada umumnya masih rendah. Selain itu kapasitas dan kesadaran pemimpin yang memiliki kewajiban untuk melayani, sangat terbatas bahkan tidak sedikit mereka minta untuk dilayani. Kewenangan formal menjadi senjata ampuh dalam menggerakkan bawahan. Akibatnya bawahan bekerja bukan atas kesadaran sendiri, tetapi karena tekanan atasan, sehingga hubungan yang harmonis antara atasan dengan bawahan tidak lagi terjalin dengan harmonis. Padahal keduanya merupakan satu kesatuan tim kerja yang dipelihara dalam menjalankan misi dan tujuan birokrasi. Jika diidentifikasi terdapat beberapa fenomena kepemimpinan birokrasi yang sering menjadi sorotan oleh para saintis dan masyarakat, antara lain:
1. Pemimpin birokrasi public dalam menjalan roda birokrasi pada umumnya belum digerakkan oleh visi dan misi, tetapi masih senangtiasa digerakkan oleh
5
peraturan yang sangat kaku. Akibatnya pemimpin tidak dapat mengembangkan sumber daya birokrasi, serta tidak mampu menyesuaikan dengan tuntutan lingkungan eskternal dalam hal kebutuhan masyarakat. Khususnya untuk pola yang dikembangkan ini merupakan manivestasi gaya kepemimpinan bersifat directive, sangat ketat di dalam memegang teguh peraturan dan sangat sedikit terjadi improvisasi kebijakan-kebijakan untuk mentoleransi adanya kekhususan, keberatan, kedaruratan, maupun peristiwa yang tidak terduga pemimpin senantiasa berpatokan pada aturan yang sudah berlaku.
2. Pemimpin birokrasi publik senantiasa mengendalikan kewenangan formal yang dimilikinya, kekuasaan menjadi kekuatan dalam menggerakkan bawahan. Mereka kurang memahami bawahan, yang memiliki perbedaan-perbedaan karakteristik, seperti kemampuan, pengetahuan, sikap, perilaku, etos kerja, dan sebagainya. Dalam kaitan ini, bilamana seorang atasan mengenal karakter bawahannya, maka akan lebih mudah menggerakkan atau memberikan motivasi yang akan berdampak pada peningkatan kualitas pelayanan.
3. Pemimpin birokrasi public memiliki kompetensi rendah. Hal ini tidak terlepas dari pada pola promosi pada birokrasi publik yang kurang mempertimbangkan kompetensi pejabat yang diangkat. Seperti telah dikenal dalam birokrasi public promosi dilakukan atas dasar kepangkatan, golongan dan ruang serta penilaian DP3.
.Dari uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan mempengaruhi aktivitas-aktivitas individu atau kelompok dalam usahanya untuk mencapai tujuan dalam situasi tertentu. Dengan demikian, secara sederhana kepemimpinan adalah setiap usaha untuk mempengaruhi, sementara kekuasaan dapat diartikan sebagai suatu potensi pengaruh dari seorang pemimpin tersebut. Hal ini merupakan suatu sumber yang memungkinkan seorang pemimpin mendapatkan hak untuk mengajak atau mempengaruhi orang-orang lain. Adapun otoritas (authority) dapat dirumuskan sebagai suatu tipe khusus dari kekuasaan yang secara asli melekat pada jabatan yang diduduki oleh pemimpin. Dengan demikian, otorita adalah kekuasaan yang disahkan (legitimitized) oleh suatu peranan formal seseorang dalam suatu organisasi. Jadi kepemimpinan dapat disimpulkan sebagai suatu aktivitas untuk mempengaruhi pengikut atau bawahan agar mereka dapat diarahkan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan oleh birokrasi. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa jika pemimpin ingin mempengaruhi perilaku pengikutnya, maka kegiatan kepemimpinan itu telah mulai berproses.
C. METODE PENELITIAN
1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokus penelitian ini adalah pada Birokrasi Publik di Kabupaten Soppeng, sedangkan fokus penelitian ini adalah gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh para pejabat birokrasi dalam memberikan pelayanan. Waktu penelitian dilakukan pada bulan Januari 2013.
2. Populasi dan Sampel
a. Populasi
Populasi yaitu wilayah generalisasi yang terdiri atas objek dan subjek yang mempunyai jumlah dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh
6
peneliti untuk dianalisis dan kemudian ditarik sampel dalam suatu penelitian Harbani Pasolong (20130:162). Adapun populasi dalam penelitian adalah keseluruhan pegawai yang refresentatif memahami gaya kepemimpinan yang diterapkan elit pimpinan birokrasi di Kabupaten Soppeng yang berjumlah sebanyak 48 orang.
b. Sampel Penelitian
1) Ukuran Sampel
Adapun jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebanyak 48 orang dari 55 populasi. Adapun jumlah sampel atau responden berdasarkan golongan sebagai berikut: Golongan IV 6 orang, Golongan III 24 orang, Golongan II orang, jadi jumlah keseluruhan yaitu sebanyak 48 orang. Sedangkan yang menjadi informan kunci (key informan) dalam penelitian ini yaitu sekretaris daerah (sekda), anggota DPRD, anggota LSM, Budayawan, Wartawan dan pensiunan Kepalas Dinas di Kabupaten Soppeng, yang berjumlah sebanyak 10 orang.
2) Teknik penarikan sampel
Teknik penarikan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah “purposive sampling”, yaitu penunjukan langsung respoden yang dianggap memahami gaya kepemimpinan yang diterapkan para elit birokrasi publik dikabupaten Soppeng, Harbani Pasolong (2013:162).
3. Instrumen Pengumpulan Data
a. Kuesioner adalah salah satu teknik pengumpulan data melalui daftar pertanyaan yang diajukan secara tertulis pada responden atau sekumpulan orang untuk mendapatkan jawaban atau tanggapan informasi atau data Harbani Pasolong (2013:164). Adapun yang diberikan kuesioner untuk diisi yaitu semua pegawai yang bertindak sebagai responden dalam penelitian ini.
b. Wawancara yaitu teknik pengumpulan data yang digunakan untuk memperdalam informasi mengenai penerapan gaya kepemimpinan yang diterapkan pada birokrasi publik di Kabupaten Soppeng. Adapun informan yang diwawancarai dalam penelitian adalah Mantan Kepala Dinas, Sekda Kabupaten Soppeng, Anggota DPR, Budayawan, LSM, dan pensiunan pegawai pada dinas tersebut.
c. Observasi: merupakan teknik dimana peneliti mengamati fenomena yang terjadi di lapangan pada saat proses penelitian sedang berjalan. Pengamatan di lakukan dengan cara mengkaitkan dua hal tersebut, yaitu informasi (apa yang terjadi) dengan konteks (hal-hal yang terjadi disekitarnya) sebagai proses pencarian makna.
4. Analisas data
Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian yaitu teknik analisa kualitatif yaitu data yang diperoleh dari informan dianalisis secara induktif untuk menyusun hipotesis Harbani Pasolong, (2013:170). Data yang diperoleh secara deskriptif disajikan dalam bentuk penjelesan, kemudian dianalisis secara statistik
7
deskriptif. Sedangkan data yang diperoleh melalui wawacara dan observasi dianalisis secara kualitatif.
D. PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
1. Deskripsi Tingkat Kematangan
Tingkat kematangan (maturity) dalam kepemimpinan situasional dapat dirumuskan sebagai suatu kemampuan dan kemauan dari orang-orang untuk bertanggung jawab dalam mengarahkan perilakunya sendiri. Variabel-variabel kematangan ini hendaknya dipertimbangkan dalam hubungannya dengan tugas-tugas yang spesifik yang harus dilakukan. Dengan demikian bawahan atau sekelompok bukannya dikatakan tidak dewasa atau tidak matang dalam pengertian umum. Tetapi semua orang cenderung menjadi lebih atau kurang dewasa dalam hubungannya dengan suatu tugas spesifik, fungsi, atau tujuan yang akan dicapai oleh pemimpin lewat usaha-usahanya, Thoha (2007:322), Seorang pegawai cenderung berada pada tingkat yang berbeda-beda sangat tergantung pada tugas, fungsi, atau tujuan tertentu yang diamanahkan kepada pegawai tersebut. Organisasi atau institusi mungkin telah berkembang sedemikian rupa. Mampu dan mau melaksanakan aspek-aspek teknis suatu tugas, tetapi tidak menggambarkan tingkat kematangan yang sama dalam pekerjaan aspek-aspek mengenai fasilitas dalam pekerjaan tersebut. Dengan demikian kepemimpinan situasional berfokus pada kesesuian atau efektivitas gaya kepemimpinan sejalan dengan tingkat kematangan dari pada pegawai yang dibawahinya. Adapun tingkat kematangan pegawai pada Birokrasi Publik dapat dijelaskan sebagai berikut. Tabel 1 Nilai Skor Kematangan Pegawai
TINGKAT KEMATANGAN PEGAWAI
Sumber: Data primer, 2013 Berdasarkan tabel 1 di atas menunjukkan bahwa tingkat kematangan atau kemampuan dan kemauan yang diukur, menunjukkan bahwa tingkat kematangan pegawai pada birokrasi publik di Kabupaten Soppeng termasuk kategori sedang menuju tinggi (M3), yaitu mempunyai kemampuan tetapi memiliki tingkat kemauan yang rendah. Hal ini dapat dilihat dari nilai hasil perhitungan yang tertinggi dengan nilai skor 925 rata-rata 185 (77,08%).
Sedangkan pegawai yang termasuk kategori kematangan rendah (M1), yaitu tidak berkemampuan tetapi memiliki kemauan memiliki nilai hasil dengan skor 747 dengan rata-rata 106 (44,46%). Kemudian pegawai yang termasuk kategori kematangan rendah menuju sedang (M2), yaitu pegawai yang tidak berkemampuan tetapi berkemauan termasuk kategori “tidak baik” yaitu dengan nilai skor 947 rata-rata 157 (65,76%), dan pegawai yang termasuk kategori
8
kematangan tinggi (M4), yaitu berkemampuan dan berkemauan termasuk kategori “kurang baik” dengan nilai skor 823 rata-rata 137 (57,15%). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kematangan pegawai pada Birokrasi Publik Kabupaten Soppeng termasuk kategori “Kematangan Sedang Menuju Tinggi (M3), yaitu mampu tapi tidak memiliki kemauan atau motivasi yang tinggi, sejalan dengan hasil wawancanra dengan Mantan Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (pensiunan) dengan mengatakan bahwa: “Saya mengamati pegawai yang ada pada birokrasi publik, rata-rata mempunyai kemampuan yang cukup memadai, namun motivasi mereka yang bermasalah yaitu rata-rata mereka malas untuk melaksanakan tugas-tugas yang diembangnya, misalnya terlambat masuk kantor, terlambat memulai bekerja, bekerja sambil ngobrol dengan teman-temannya, dan selalu mau cepat mau pulang kantor. Akan tetapi kalau dia mau bekerja, dia bisa melakukan pekerjaan dengan baik, karena mereka rata-rata berpendidikan tinggi dan mereka rata-rata adalah alumni Perguruan Tinggi Negeri, tentu kualitasnya tidak diragukan lagi, cuma mereka itu malas saja”. Hal tersebut di atas sejalan dengan hasil wawancara dengan LSM (lembaga Swadaya Masyarakat) usia 57 tahun , dengan mengatakan bahwa: “Pada dasarnya pegawai pada birokrasi publik, cukup mampu dalam melaksanakan tugas-tugasnya, cuma kendalanya adalah rendahnya kemauan atau motivasi untuk melaksanakan tugas-tugasnya. Mereka-mereka pada dasarnya sudah cukup berpengalaman dalam tugas-tugas rutin tersebut. Selain itu dia juga mempunyai tingkat pendidikan yang cukup memadai untuk melakukan tugas-tugas kantor tersebut. Ketidakdisiplinan pegawai dapat dilihat pada tangga-tanggal tua, mungkin mereka mencari tambahan penghasilan di luar”. Ketidakdisiplinan pegawai dapat dilihat pada waktu jam kerja, yaitu selalu terlambat masuk bekeja, terlambat memulai bekerja atau sambil bekerja dia berbincang-bincang dengan teman-temannya”. Kemudian sejalan juga dari hasil analisis dari berbagai hasil wawancara dengan beberapa informan tentang rendahnya kemauan atau motivasi pegawai dalam melakukan tugas-tugas yang diembangnya. Berikut beberapa kesimpulan hasil wawancara dengan beberapa informan, dapat dilihat sebagai berikut. “Saya melihat pegawai pada birokrasi publik, sebagai pegawai negeri sipil, perhatian untuk meningkatkan kemampuannya atau kematangannya sangat ditentukan oleh kesadarannya sendiri. Timbul kesan bahwa pegawai yang mampu dan tidak mampu memiliki gaji yang sama karena golongan yang sama, bukan karena gaji yang sama dengan kinerja sama. Kemudian ada pegawai yang sudah berulang kali ikut diklat tetapi cara kerjanya biasa-biasa saja, sementara ada pegawai jarang sekali ikut diklat, bahkan ada pegawai yang tidak pernah ikut diklat tetapi kinerjanya cukup memuaskan. Kemudian daftar hadir yang ketat, wejangan pimpinan yang memuaskan, belum mampu membuat pegawai termotivasi dengan baik. Kerana mereka tetap malas yaitu terlambat masuk kerja, terlambat memulai bekerja, dan selalu cepat pulang kantor sebelum waktunya. Rendahnya kemauan atau motivasi akan berpengaruh terhadap kinerja yang kurang memuaskan”.
Ketidaksesuian penerapan gaya kepemimpinan pada birokrasi publik Kabupaten Soppeng tersebut, karena lebih disebabkan oleh klasifikasi kemampuan dan kemauan pegawai hanya dua srata, yaitu 1) Pegawai mampu dan tidak mampu, 2) pegawai malas dan disiplin. Hal ini sejalan dengan hasil
9
wawancara dengan Anggota DPRD, mengatakan bahwa: “Saya memperhatikan mulai dari pimpinan sebelumnya, maupun para pimpinan sekarang hanya membuat dua klasifikasi kemampuan pegawai yaitu: 1) pegawai yang memiliki kemampuan dan tidak berkemampuan, 2) pegawai yang memiliki motivasi dan tidak termovasi, sehingga para pejabat hanya mengenal dua jenis kemampuan atau kematangan pegawai yaitu mampu dan tidak mampu (matang dan tidak matang). Hal ini dilakukan dengan berbagai pertimbangan antara lain sebagai salah satu materi kepemimpinan ketika kita mengikuti pelatihan kepemimpinan, sehingga kita hanya mengenal dua gaya kepemimpinan yaitu instruksi/otoriter dan demokrasi”. Hasil wawancara ini, sejalan dengan pandangan Mantan Kepala Dinas Kabupaten Soppeng (67 tahun) dengan mengatakan sebagai berikut: “Berdasarkan pengalaman saya menjadi pimpinan birokrasi publik saya lebih cenderung mengunakan gaya instruksi karena sudah terbiasa dalam pola gaya kepemimpinan keluaraga kami dan perlu diketahui bahwa di daerah ini masih kental dengan budaya lokal yang kita anut selama ini yaitu “sorong pawo” yang merupakan warisan dari pemimpin kerajaan, yang mewarnai gaya kepemimpinan birokrasi di daerah ini, yaitu “pammali” melawan keputusan dari atas”. Rendahnya motivasi pegawai biasanya disebabkan karena kurangnya keyakinan. Namun bila mereka yakin atas kemampuannya tetapi tidak mau, maka keengganan pegawai untuk melaksanakan tersebut lebih merupakan persoalan motivasi dibandingkan persoalan keamanan. Dalam kasus seperti ini pemimpin perlu membuka komunikasi dua arah secara aktif mendengar dan mendukung usaha-usaha para pegawai untuk menggunakan kemampuan yang telah dimiliki. Dengan demikian gaya yang mendukung, tanpa mengarahkan, “partisipasi” (G3) mempunyai tingkat keberhasilan yang tinggi untuk diterapkan bagi pegawai dengan tingkat kematangan seperti ini.
2. Deskripsi Gaya Kepemimpinan Birokrasi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa, gaya kepemimpinan yang dominan diterapkan pimpinan adalah gaya instruksi dengan nilai skor 1068 atau rata-rata 178 (74,16%) (lihat tabel 4). Hal ini berarti bahwa gaya kepemimpinan situasional sudah diterapkan pada dinas tersebut, namun belum maksimal karena masih kurang disesuaikan dengan tingkat kematangan pegawai. Hal ini sejalan dengan hasil wawancara dengan informan kepala dinas (72 tahun), mengatakan bahwa: “Selama saya menjadi pimpinan pada dinas tersebut saya selalu memberitahukan petunjuk-petunjuk atau perintah-perintah secara lisan kepada pegawai apa yang harus dikerjakan dan bagaimana cara mengerjakannya, dan menyampaikan informasi penting yang terkait dengan pekerjaannya. Kemudian saya banyak juga memberikan instruksi-instruksi kepada pegawai agar dapat melaksanakan tugas-tugas yang diembangnya dan dapat memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat, karena hal ini merupakan kewajiban untuk memuaskan masyarakat”.
Hasil wawancara ini menunjukkan bahwa para pejabat atau pimpinan pada dinas tersebut lebih cenderung menggunakan perintah-perintah terhadap bawahannya ketimbang melibatkan pegawai dalam hal mengambil keputusan. Pada hal secara teoritik pegawai yang memiliki tingkat kematangan sedang
10
menuju tinggi atau pegawai yang memiliki kemampuan dalam pekerjaan tetapi tidak memiliki motivasi untuk melakukan pekerjaan sebaiknya diterapkan gaya partisipasi. Hal ini dibenarkan atau diperjelas oleh salah satu hasil wawancara dengan informan DPR usia 58 tahun , dengan mengatakan bahwa: “Selama saya menjadi pegawai padaPada Birokrasi Publik kurang lebih 28 tahun, saya selalu memperhatikan gaya kepemimpinan yang diterapkan baik pejabat yang dulu maupun pejabat yang sekarang, lebih dominan menggunakan gaya instruksi atau perintah terhadap pegawai, karena kita selalu dianggap sebagai anak-anak atau tidak mampu melakukan pekerjaan. Hal ini disebabkan oleh pengaruh pola kemimpinan Andi (Datu) jaman dulu yaitu “sorong pawo” yaitu segala macam kebijakan atau keputusan berasal dari atas (datu) yang dibawa tinggal menerima atau menjalankan saja, karena salah kalau tidak dilaksanakan dan merupakan sebagai suatu kesalahan besar kalau melawan dari atas”. Jika gaya kepemimpinan yang dominan diterapkan, dikaitkan dengan tingkat kematangan yang dominan pada birokrasi yaitu mempunyai kemampuan tetapi tidak memiliki kemauan (M3), maka gaya kepemimpinan yang diterapkan dapat dikatakan “kurang sesuai” atau “kurang baik. Karena gaya kepemimpinan yang tepat diterapkan adalah gaya partisipasi (G3) pada jenis kematangan tersebut. Penerapan gaya instruksi berdasarkan hasil penelitian dapat ditelusuri melalui ciri-ciri utama bahwa pemimpin selalu berorientasi kekuasaan, wewenang, kepatuhan terhadap atasan, komunikasi satu arah, tergantung pada pimpinan. Orientasi kekuasaan merupakan fenomena yang menonjol dalam perilaku pemimpin birokrasi. Kekuasaan merupakan instrumen untuk dapat mengaktualisasikan diri dalam mengelola sumber daya birokrasi. Para birokrat sangat patuh terhadap atasan atau pimpinan yang dipengaruhi oleh garis otoritas dalam hirarki birokrasi seperti yang dikemukakan oleh Weber. Setiap birokrat harus patuh dan loyal terhadap atasan atau pimpinannya. Kepatuhan ini timbul bersamaan kesadaran untuk mempertahankan kekuasaan dan jabatan. Semakin tinngi kepatuhan semakin langgen jabatan yang dipangku oleh pejabat birokrat. Kepatuhan terhadap hierarki jabatan di atasnya menimbulkan ketergantungan seseorang terhadap pimpinannya cukup tinggi. Pada Birokrasi Publik simbol-simbol kultur tersebut dapat dilihat pada gelar Bangsawan seperti Datu, Bau, Petta, Andi yang melekat pada seseorang yang menduduki jabatan pada birokrasi maupun masyarakat pada umumnya. Sehingga orang yang menduduki jabatan tersebut dipanggil “Pak Andi”, “Bau” “Petta”, dan Puang. Bukan dipanggil “Bapak” sebagaimana lazimnya seseorang yang menduduki jabatan pada umumnya dipanggil “Bapak”. Gaya kepemimpinan tersebut di atas, sudah berlangsung sejak lama, yaitu mulai pada tahun 1300 sampai sekarang. Hal ini dapat dilihat dari Bupati pertama sampai sekarang masih didominasi oleh bangsawan. Kelanggenan kepemimpinan bangsawan dipengaruhi oleh budaya lokal. Hal ini dapat dilihat dari jaman kerajaan pada tahun 1300-1940 dipimpin oleh raja dan Kabupaten Soppeng baru tiga kali tidak dipimpin oleh bangsawan, itupun sebenarnya adalah keluarga bangsawan.
11
Maka dapat dipahami bahwa gaya kepemimpinan dipengaruhi oleh budaya dimana seseorang tersebut menjadi pemimpin, tidak terkecuali pada Birokrasi Publik di Kabupaten Soppeng dipengaruhi oleh budaya setempat yaitu budaya kekerabatan. Hal ini diperjelas melalui kuesioner terbuka yang diberikan kepada responden dan informan, yaitu pemimpin selalu menggunakan gaya kekerabatan menjalankan tugas-tugas dan kewenangannya. Perilaku pemimpin ini dapat dilihat ketika mengikutsertakan pegawai untuk Diklat, Seminar, Lanjut Studi yang selalu diutus adalah mereka-mereka yang memiliki hubungan kekerabatan. Begitu pula ketika ada jabatan yang lowong yang mengisi adalah mereka-mereka yang memiliki hubungan kekerabatan dengan pimpinan, yang sebenarnya kurang memiliki kompetensi yang cukup memadai untuk menduduki jabatan tersebut. Penerapan gaya instruksi tidak terlepas dari lingkungan dan kronologis yaitu budaya tradisional kerajaan di Kabupaten Soppeng, yaitu diadopsinya sistem budaya kerajaan ke dalam sistem pemerintahan. Internalisasi nilai-nilai budaya kerajaan masuk ke dalam birokrasi tersebut memunculkan watak birokrasi yang cenderung menempatkan dirinya merasa lebih tinggi daripada masyarakat pada umumnya. Bangsawan pada birokrasi publik lebih dihormati ketimbang orang yang memiliki tingkat pendidikan tinggi, jabatan, orang kaya dan status yang lainnya. Sistem nilai dan norma budaya yang dipakai dalam sistem birokrasi menggunakan standar ganda. Pada satu sisi adanya keinginan birokrasi untuk berperilaku layaknya sebagai raja yang berkuasa yang harus dilayani, pada sisi lain birokrasi juga berfungsi sebagai pelayan yang harus mengetahui kebutuhan masyarakat yang dilayaninya. Tabel 2 Nilai Skor Gaya Kepemimpinan
GAYA KEPEMIMPINAN
Sumber: hasil olahan kuesioner, 2013
Berdasarkan hasil penelitian tersebut di atas, maka dapat dikatakan penerapan gaya kepemimpinan pada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil di Kabupaten Soppeng “belum maksimal” karena tidak disesuaikan dengan tingkat kematangan pegawai pada dinas tersebut. Oleh karena itu efektif tidaknya gaya kepemimpinan yang diterapkan sangat dipengaruhi oleh baik tidaknya kesesuaian penerapan gaya kepemimpinan dengan tingkat kematangan pegawai. Sebagaimana dikemukakan oleh Hersey Blanchard (1982), bahwa: 1) tingkat kematangan yang rendah (M1), yaitu pegawai yang tidak mempunyai kemampuan dan tidak memiliki kemauan, maka gaya yang paling efektif diterapkan adalah gaya instruksi (G1), yaitu pemimpin melakukan komunikasi
12
satu arah, pemimpin memberikan batasan peranan pegawai, pemimpin lebih banyak memberitahukan kepada pegawai apa, bagaimana, bilamana, dan dimana dilaksanakan tugas. Rendahnya tingkat kesesuaian gaya kepemimpinan yang diterapkan dengan tingkat kematangan pegawai pada dinas kependudukan dan Capil di Kabupaten Soppeng karena dipengaruhi oleh sistem kerajaan yang berlansung hampir 657 tahun. Dimana sistem kerajaan dipimpin oleh Datu secara turun temurun mengendalikan kerajaan. Masa pemerintahan dari Datu ke Datu menggunakan gaya kepemimpinan “sorong pawo” yaitu semua keputusan ditentukan oleh elit bangsawan atau Datu. Proses pergantian kepemimpinan Datu/raja sebagaimana dalam lontara diwariskan kepada keturunannya. Tidak ada raja yang memerintah Kerajaan Soppeng selain keturunan La Temmalala Tomanurunnge ri Sekkanyili. Dengan demikian semua bangsawan Soppeng berasal dari satu leluhur bernama La Temmalala. Pada zaman kerajaan telah ditetapkan: 1) prinsip-prinsip pemerintahan yang baik, kuat dan demokratis, 2) budaya politik yang menjunjung tinggi martabat, harga diri (sirik) dan kehormatan rakyat. Budaya ini didukung oleh pemimpin dan rakyat. Kebaikan, kekuatan dan praktek demokratis pengelolaan pemerintahan yang dirintis pada periode Tomanurung dibangun atas landasan nilai budaya sirik, dan adat yang mengajarkan berbuat baik, moral dan etika pemerintahan, menitikberatkan penguatan martabat, kehormatan dan harga diri dengan mengutamakan potensi sikap dari perilaku: a) kecakapan (amaccangeng), b) kejujuran (alempureng,) dan c) keberanian (awaraningeng), sebagai standar kepemimpinan politik dan birokrasi. Walaupun birokrasi dijalankan dengan mengacu pada sistem sosial yang berbentuk kekerabatan, namun prinsip-prinsip keadilan tetap menjadi acuan dalam adat pemerintahan zaman kerajaan. Sistem kekerabatan menyatu dengan sisitem birokrsi yang dikontrol oleh sirik dan pengaderreng, dimana pelembagaannya dilakukan pada keluarga. Implikasi pelaksanaan sistem birokrasi yang berdasar dengan kuat pada nilai budaya yang sejalan dengan sistem sosial mampu mewujudukan suatu pola pemerintahan yang berhasil memajukan negeri pada zaman kerajaan teresbut. Warisan budaya politik dan birokrasi pada zaman kerajaan masih nampak wujdunya dalam perilaku birokrasi termasuk gaya kepemimpinan pejabat birokrasi. Namun pemaknaannya sudah berbeda dengan masa lalu. Orientasi martabat dengan memelihara kejujuran (alempureng), mengembangkan kecakapan (amaccangeng), dan menjaga keberanian (awaraningeng) yang terkandung dalam nilai sirik dan penngaderreng telah berubah pada orientasi kepentingan. Percampuran antara nilai-nilai kekerabatan pada masa lalu dengan prinsip-prinsip impersonal pada birokrasi modern menimbulkan anomaly birokrasi, karena memiliki prinsip dasar yang berbeda dan saling bertentangan dan tidak diatur dalam sebuah sistem formal dalam sebuah birokrasi zaman sekarang. Hal tersebut di atas menimbulkan implilasi perilaku: semu, ambivalen yang berpengaruh negatif terhadap ketertiban dalam hubungan-hubungan birokratis, dimana sulit dipisahkan dan ditempatkan secara tepat antara hubungan birokratis dengan hubungan kekerabatan. Bahkan dapat dikatakan lebih kental nilai kekerabatan ketimbang nilai kompetensi yang diisyaratkan secara formal.
13
Gaya kepemimpinan yang dominan diterapkan pada dinas kependudukan catatan Sipil di Kabupaten Soppeng dipengaruhi oleh budaya lokal yaitu budaya bangsawan yang memegang jabatan tertentu menerima penghargaan yang tinggi dari bawahan dan juga ditaati oleh kebanyakan orang. Karena pada diri bangsawan terdapat 2 unsur yang melekat yaitu Jabatan dan kebangsawanan. Pejabat atau pimpinan adalah mereka-mereka yang mempunyai keturunan bangsawan yang memerintah sejak dari dulu (jaman kerajaan). Mereka adalah turunan yang memerintah atau turunan pimpinan yang layak diikuti dan ditaati perintah-perintahnya. Jadi gaya instruksi diterapkan bagi pegawai atau bawahan yang tidak memiliki hubungan darah dengan pemimpin, sedangkan gaya partisipasi dan delegasi diterapkan bagi pegawai yang memiliki hubungan darah dengan pemimpin. Hal ini dapat dilakukan dengan mudah karena: a) karena di Soppeng orang yang mempunyai strata sosial yang tinggi misalnya “Andi” melekat pada nama orang tersebut, tidak sekedar nama panggilan seperti “Datu”, Puang”, “Karaeng” Daeng, “Opu” atau istilah yang setara dengan itu. b) perilaku kekerabatan sudah dianggap biasa oleh masyarakat karena sudah menjadi kebiasaan (tradisi) yang sejak dari dulu berlangsung sampai sekarang, oleh karena itu, justeru salah kalau tidak dilakukan (karena tidak ada masyarakat mempermasalahkan) dan diterima sebagai suatu kebiasaan atau tradisi dari sejak zaman kerajaan. Kepemimpinan Andi (bangsawan) mempunyai nilai positif dan negatif, kepemimpinan Andi (bangsawan) mempunyai nilai fositif karena tidak ada bawahan yang berani melawan atau membantah terlepas benar atau salah, karena dianggap kebenaran sebagai suatu tradisi sejak dari jaman kerajaan dulu yang selalu digunakan adalah gaya kepemimpinan “sorong pawo” (semua keputusan atau kebijakan ditentukan oleh elit bangsawan dari atas). Nilai negatif kepemimpinan Andi jika tidak memiliki kompetensi untuk menduduki suatu jabatan karena akan berdampak kepada bawahan atau pengikut. Kemudian kepemimpinan andi lebih diutamakan kekerabatan ketimbang kompetensi, disitulah letak permasalahannya yang mestinya perlu dicarikan solusi. Oleh karena itu, untuk menjadikan kepemimpinan Andi (bangsawan) menjadi “Super Leadership”, maka syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi pemimpin super, antara lain: selain memiliki 5 hal yang dikemukakan oleh Kousez & Posner (2002), yaitu: jujur, memiliki visi, kompeten, inspirator, adil, maka syarat lain yang harus dipenuhi adalah “status sosial”, dalam hal ini bangsawan (Andi). Dengan alasan bahwa: 1) Karena gelar andi memiliki kelebihan dibandingkan gelar bangsawan yang lainnya yaitu Andi” melekat secara tertulis maupun lisan (panggilan) pada nama orang tersebut, tidak sekedar nama panggilan seperti “Karaeng”, “Daeng, “Opu” atau istilah yang setara dengan itu, 2) masih diterima oleh masyarakat sebagai tradisi dari jaman kerajaan tahun 1300 s/d 1957. Kemudian di era modern sekarang ini, masih menampakkan wujudnya dalam pengelolaan birokrasi. Hal ini terbukti dalam birokrasi modern masih didominasi oleh pejabat yang berstatus bangsawan yang menggunakan gaya-gaya instruksi dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya sebagai pemimpin birokrasi. Karena pada jaman kerajaan faktor kunci dalam menjalankan roda pemerintahan adalah penggunaan jari telunjuk lebih dominan ketimbang penggunaan ibu jari.
14
Birokrasi kerajaan Soppeng pada masa lalu dikenal istilah “Sorong Pawo” dalam proses pengambilan keputusan. Sorong Pawo yaitu segala macam keputusan yang menyangkut masalah pemerintahan kerajaan itu berasal dari atas atau Datu. Dalam istilah modernnya disebut Model Top-down approach (dari atas ke bawah). Sedangkan dalam pemerintahan modern Kabupaten Soppeng nampaknya masih tampak wujudnya bahwa top-down masih terus berlanjut walaupun ide-ide model Bottom-up (dari bawah ke atas) telah masuk dalam birokrasi bahwa segala keputusan itu sangat tergantung pada pimpinan, dan juga dalam hubungan jenjang tersebut diwarnai oleh pola-pola hubungan patron klien dengan pimpinan. Masuknya budaya tersebut dalam birokrasi antara lain melalui pimpinan tertinggi, oleh karena salah satu saluran budaya kekerabatan masuk dalam birokrasi adalah pimpinan, karena pimpinanlah yang mengangkat dan memberhentikan kepala dinas (pemimpin birokrasi). Jadi dapat dipahami bahwa ada faktor politis dalam birokrasi, sehingga dalam memberikan pelayanan tidak dapat bersikap netral. E. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan hasil penelitian yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut. Gaya Kepemimpinan yang dominan diterapkan pada Birokrasi Publik di Kabupaten Soppeng adalah “gaya instruksi” yang secara teoritik tepat diterapkan pada pegawai yang mempunyai “kematangan rendah” yaitu pegawai yang tidak mempunyai kemampuan atau tidak kompeten dan tidak memiliki motivasi yang tinggi untuk melakukan pekerjaan yang diembangnya. Penerapan gaya instruksi dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: a) nilai-nilai dan norma-norma yang tidak tertulis yang dianut dan ditaati secara bersama oleh mayoritas anggota organisasi yaitu kepemimpinan bangsawan yang lebih cenderung menggunakan gaya “sorong pawo” (semua keputusan atau kebijakan ditentukan oleh elit bangsawan, dan b) atasan dari pemimpin, yaitu tindakan atau perilaku suatu pejabat sutruktural sangat ditentukan oleh pejabat struktural di atasnya atau pemimpinnya.
2. Saran
a. Pemimpin harus memperlakukan pegawai secara berkeadilan dalam segala hal, antara lain dikemukakan sebagaimana tentang teori keadilan yang intinya adalah pegawai membandingkan usaha dan imbalan mereka dengan usaha dan imbalan yang diterima pegawai lain dalam situasi pekerjaan yang serupa, dengan asumsi bahwa pegawai itu dimotivasi oleh keinginan untuk diperlakukan adil dalam pekerjaan.
b. Pemimpin yang “di” menjadi “me” yaitu pemimpin “dilayani” menjadi pemimpin yang “melayani” Pada saat sekarang ini idealnya pemimpin yang melayani bawahannya, pelanggan, masyarakat serta menjadi prioritas utama. Hal ini sejalan dengan paradigma baru pemerintah yaitu dari konsep dilayani menjadi konsep melayani, seharusnya tercermin oleh perilaku aparatur pemerintah itu sendiri. Sikap sebagai pelayan sejati dan peka terhadap situasi yang berkembang dalam masyarakat seharusnya dimiliki oleh setiap aparatur:
15
1) Aparatur harus cepat tanggap terhadap segala aspirasi yang beredar dan berkembang di masyarakat sehingga berbekal modal ini konsep pelayan paradigm baru dapat diterapkan secara optimal.
2) Para pemimpin birokrasi perlu mendiagnosa tingkat kemampuan dan kemauan pegawai dan mengidentifikasinya, menjadi 4 (empat) tingkat kematangan yaitu: a) kematangan rendah, b) kematangan rendah menuju sedang, c) kematangan sedang menuju tinggi dan d) kematangan tinggi.
3) Para Pemimpin dalam meningkatkan kemampuan dan keahlian pegawai secara terus menerus diperlukan pengembangan pegawai melalui pendidikan, promosi dan mutasi berbasis kompetensi bukan berbasis “kekerabatan”.
DAFTAR PUSTAKA Adair, John, 1998. Menjadi Pemimpin yang efektif. Jakarta: Pustaka Binaman. Presindo. Albrow, Martin.1996. Birokrasi: Terjemahan. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya. Al-Munawar, Said Aqil Husain dan Yusuf Tayar. 2002. Etika Manajamen: Kepemimpinan Pemerintahan Perniagaan dan Masyarakat. Jakarta: Ghalia Indonesia. Bass, B.M. 1985. Leadership and Performance Beyond Expectation, New York: Free Press. Bennis, Warren G, & Burt Nanus. 1990. Kepemimpinan: Strategi Dalam Mengemban Tanggung Jawab. (Terjemahan). Jakarta: Erlangga. Blanchard, Meggy, 1999. Kepemimpinan dan Perilaku Kepemimpinan. Salemba Empat (terjemahan). Jakarta. Bush, Tony & Marianne Colleman, 2006. Leadership And Management In Education: Manjemen Strategis Kepemimpinan Pendidikan. Yogyakarta: IRciSoD. Cribbin, James J. 1985. Kepemimpinan: Srategi Mengefektifkan Organisasi (Terjemahan) Rochmulyati Hamzah. Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo. Creech, Bill. 1996. Lima Pilar: Manajemen Mutu Terpadu (TQM) Cara Membuat Total Quality Management Bekerja Bagi Anda. Jakarta: Binarupa Aksara. David Osborne dan Ted Gaebler. (1995) Mewirausahakan Birokrasi. Jakarta: PPM. Davis K & Newsrom J.W. 1989. Human Bewhaviour at Work (8 ed) Singapore: Mc Grw-Hill. Dessler, Gary. 1980. Organization Theory: Integrating Structure and Behavior. Prentice_hall, Inc,. Englewood Cliffs-New Jersey. Gibson, James L. 1990. Organisasi: Perilaku, Struktur, Proses. (jilid II). Jakarta: Erlangga. Greenleaf, R. K. 1999. Tracing the Growing Impact of servant-Leadership. In L. C. Spears Insights on Leadership: Service, Stewardsip, Spirit, and Servant Leadership, New York, NY:John Wiley. Ivancevich MJ. 2000. Human Resource Management. (8 ed). Mc. Graw-Hill. Jay A. Conger. 1997. Pemimpin Karismatik. (terjemahan). Jakarta: Binapura Aksara. Kartono, Kartini, 2005. Kepemimpinan: Apakah Kepemimpinan Abnormal itu?. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Keating, Charles J. 1986. Kepemimpinan: Teori dan Pengembangannya. (Terjemahan). Yogyakarta: Kanisius.
16
Kousez, M. James & Barry Z. Posner. 1997. Kredibilitas. Jakarta: Profesional Books. ______________________________. 2004. Leadership The Challennge: Tantangan Kepemimpinan. Jakarta: Erlangga. Lantu, Donal, Erich Pesiwarissa. Augusman Rumahorbo. 2007. Servant Leadership. Jakarta: Gradien Books. Maxwell, Jhon C. 1995. Mengembangkan Kepemimpinan di Dalam Diri Anda. (Terjemahan). Jakarta: Binarupa Aksara. McClelland, David C. 1987. Memacu Masyarakat Berprestasi: Mempercepat Laju Pertumbuhan Ekonomi Melalui Peningkatan Motif Berprestasi. (Terjemahan). Jakarta: Intermedia. Moenir, A.S. 1986. Kepemimpinan Karja: Peranan, Teknik dan Keberhasilannya, Bina Aksara. Jakarta. Nawawi Hadari, & Martini Hadari. 1995. Kepemimpinan dan Supervisi Pendidikan. Jakarta: Bina Aksara. Pamudji, S. 1989. Kepemimpinan Pemerintahan di Indonesia, Jakarta: Bina Aksara. Pasolong, Harbani. 2011. Kepemimpinan Birokrasi. Cetakan Kedua, CV. Alfabeta Bandung. _______________. 2013. Metode Penelitian Administrasi Publik. CV. Alfabeta Bandung. Pelras, Cristian. 1981. Hubungan Patron Klien pada Masyarakat Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan. Makalah yang disajikan pada Konferensi Sulawesi Selatan Pertama, di Monash University. Melbourne. Rahmany, Hasan. 2006. Kepemimpinan dan Kinerja. Peningkatan Kinerja Organisasi Melalui Kepemimpinan yang Memberdayakan Karyawan. Jakarta: Yapensi. Rivai, Veithzal. 2004. Kiat Kepemimpinan Dalam Abad ke 21. Jakarta: Murai Kencana. Robbins, S.P.. 1995. Teori Organisasi: Struktur, Deain & Aplikasi. Alih Bahasa: Yusuf Udaya. Jakarta: Arcan Richard I. Dafr. 1999. Leadership: Teory and Practice: The Dryden Press. Rukmana, Nana. 2007. Etika Kepemimpinan Perspektif Agama dan Moral. Bandung: Alfabeta. Safaria, Triantoro. 2004. Kepemimpinan. Graha Ilmu. Yogyakarta. Candi Gebang Permai. Sartono dkk. 2004. Memahami Good Governance Dalam Perspektif Sumber Daya Manusia. Gava Media. Yogyakarta. Said, M., Mas'ud. 2007. Birokrasi di Negara Birokratis. Malang: UMM Press. Spears, L. (Ed.) (1995. Reflection on Leadership: How Robert Greenleaf's Theory of Servant-Leadership Influenced Today's Top Management Thinkers, New York:John Wiley & Sons. Stoner, James A.F. dkk. 1996. Manajemen. Jakarta: PT Indeks Gramedia Grup. Siagian, P. Sondang, 1994. Patologi Birokrasi: Analisis, Identifikasi dan Terapinya. Jakarta: Ghalia Indonesia. _________________, 2003. Teori Dan Praktek Kepemimpinan. Jakarta: Rineka Cipta. Singarimbun Masri dan Sofian Effendi (ed). 1995. Metode Penelitian Survai. Yogyakarta: LP3ES.
17
Sudriamunawar, Haryono, 2006. Kepemimpinan Peran Serta dan Produktivitas. Bandung: Mandar Maju. Sutarto, 2006. Dasar-dasar Kepemimpinan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Syafi'ie Kencana Inu, dkk. 2003. Kepemimpinan Pemerintahan Indonesia. Bandung: PT Refika Aditama. Sudriamunawar, Haryono, 2006. Kepemimpinan Peran Serta dan Produktivitas. Bandung: Mandar Maju. Sulistiyani, Ambar Teguh. 2004. Memahami Good Governance: Dalam Perspektif SDM, Gava Media. Yogyakarta. The Drucker. Foundation. 2000. The Leader of The Future (Pemimpin Masa Depan). Thoha Mifta, 2002. Perspektif Perilaku Birokrasi. Jakarta: RajaGrafindo Persada. ____________, 2004. Kepemimpinan Dalam Manajemen. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Wahjosumidjo. 1994. Kepemimpinan dan Motivasi. Jakarta: Ghalia Indonesia. Waluyo. 2007. Manajemen Publik: (Konsep, Aplikasi dan Implementasinya Dalam Otonomi Daerah). Bandung: Mandar Maju. Weber, Max, 1985. Konsep-konsep Dasar Dalam Sosiologi. Terjemahan. Jakarta: Rajawali. Weber, Max,1947. The Theory of Social and Economic Organization, Translated by A.M. Henderson & Talcott Parson. New York. The Free Press. Widodo, Joko. 2006. Membangun Birokrasi Berbasis Kinerja. Jakarta. Bayumedia. Publishing Wijaya. A.W. 1986. Peranan Motivasi Dalam Kepemimpinan. Jakarta: Akademika Pressindo. Winardi. 2000. Kepemimpinan Dalam Manajemen. Jakarta: Rineka Cipta. Wirjana, Bernadine R. & Susilo. Supardo. 2006. Kepemimpinan: Dasar-Dasar dan Pengembangannya. Yogyakarta: Penerbit Andi. Yukl, Gary. 1998. Kepemimpinan Dalam Organisasi.(Terjemahan). Jakarta: Prenhallindo.
KEPEMIMPINAN ANDI MASIH SANGAT EFEKTIF UNTUK MASYARAKATNYA MAYORITAS BUGIS_MAKASSAR
BalasHapus