Selasa, 13 September 2011

NETRALITAS BIROKRASI DALAM PILKADA : Pilihan atau Keharusan

NETRALITAS
PNS DALAM PILKADA
Keharusan Atau Pilihan?

OLEH
HARBANI PASOLONG
Mahasiswa Pascasarjana S3 Unhas Program Studi Ilmu Administrasi Publik)

Pada dasarnya netralisasi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam pilkada dapat dilihat  dari dua perspektif, yaitu: Pertama, PNS yang mencalonkan diri atau dicalonkan oleh partai politik sebagai kandidat kepala daerah. Kedua, PNS yang terlibat baik karena dilibatkan maupun karena  melibatkan diri. Pada tataran normatif, PNS sudah diatur dalam berbagai  perangkat peraturan perundang-undangan tentang netralitas dalam pilkada. Namun peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hal tersebut  saling bertentangan dalam pelaksanaannya.
Pegawai Negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, dan  adil dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan, dan pembangunan. Konsekuensi dari kedudukan dan tugas seperti itu, PNS  HARUS NETRAL dari pengaruh semua golongan dan partai politik serta tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada  masyarakat. Untuk menjamin netralitas PNS dilarang menjadi anggota dan atau pengurus partai politik, hal ini diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 43 tahun 1999.
Berkaitan dengan pelaksanaan Pilkada dibeberapa daerah, posisi PNS masih dianggap cukup terhormat dan diperhitungkan. Pada posisi seperti itu PNS ditempatkan pada ranah yang strategis menjadi rebutan para  kandidat kepala daerah. Para kandidat yakin satu PNS mampu menarik 3 ke atas orang. Kondisi seperti inilah yang ditengarai menjadi titik rawan PNS tidak netral dalam penyelenggaraan Pilkada.
Permasalahannya adalah bagaimana kondisi peraturan perudang-undangan yang mengatur tentang netralitas PNS dalam PILKADA dan sejauhmana posisi netral PNS dalam pilkada.
Di tengah perubahan sistem politik saat ini, jajaran PNS dituntut lebih responsif terhadap berbagai perubahan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. PNS sebagai penyelenggara pemerintahan harus tanggap  terhadap perkembangan yang terjadi pada semua aspek kehidupan ekonomi, sosial, budaya, politik dan ketertiban serta mampu mengendalikan, membimbing dan mengarahkan seluruh dimensi kehdiupan bermasyarakat. Untuk mewujudkan semua itu, maka diperlukan PNS yang professional, independent dan tidak terlibat  dalam kekuatan sosial politik  manapun (netral). Dengan demikian, dalam penyelenggaraan  pemerintahan PNS harus menjunjung tinggi prinsip  netralitas. Prinsip ini merupakan basis idealisme pengabdian pelayanan publik yang prima, dan disinilah tanggung jawab, moralitas dan  disiplin PNS diuji. Oleh karena itu,  netralitas PNS merupakan suatu keharusan, bukan sebagai sebuah pilihan.
Pada dasarnya netralitas birokrasi atau PNS sudah menjadi pembicaraan lama diantara para ahli, yaitu kritik Marx terhadap filsafat Hegel tentang negara yang menggambarkan bahwa posisi  kenetralan birokrasi  menjadi suatu yang penting. Namun demikian dalam kritiknya, Marx hanya mengubah "isi"  teori Hegel tentang tiga kelompok dalam masyarakat, (1) kelompok kepentingan khusus (particular interest) dalam hal ini diwakili oleh para pengusaha dan profesi, (2) kepentingan umum (general interest)  yang diwakili oleh negara, dan (3) kelompok birokrasi. Marx menyatakan bahwa birokrasi sebaiknya memposisikan dirinya sebagai kelompok  sosial tertentu yang dapat menjadi instrument dari kelompok yang dominan atau penguasa. Jika  hanya sebatas sebagai penengah antara negara yang mewakili kelompok kepentingan umum dengan kelompok kepentingan khsusus yang diwakili oleh pengusaha dan profesi, maka birokrasi tidak akan berarti apa-apa. Dengan konsep seperti ini berarti  Marx mengingikan birokrasi memihak kepada kelompok yang berkuasa. Masa depan dan kepentingan birokrasi,  pada tingkat tertentu  menjalin hubungan yang sangat erat dengan kelas dominan. Di sinilah  netral atau tidaknya suatu birokrasi  sudah ramai dibahas. Sedangkan konsep  Hegel menyebut tiga kelompok dalam masyarakat di atas menginginkan birokrasi  berposisi netral (ditengah) antara kelompok kepentingan umum yang dalam hal ini diwakili  oleh  Negara dengan kelompok pengusaha dan profesi sebagai kelompok kepentingan khusus. Jadi dalam hal ini birokrasi menurut Hegel harus netral. Hal ini sejalan dengan peraturan yang telah dibuat oleh pemerintah, namun pada tataran kenyataan,  justeru yang terjadi  adalah tidak netral alias pro terhadap salah satu kandidat yang akan bertarung menduduki  nomor wahid di daerah.
Dalam perspektif lain, netralitas birokrasi  pada mulanya  hanya berfungsi untuk melaksanakan kebijakan politik, akan tetapi birokrasi bisa berperan membuat kebijakan.  Netralitas birokrasi dari politik  adalah hampir tidak mungkin. Sebab jika partai politik tidak mampu memberikan alternatif program pengembangan dari mobilisasi dukungan maka birokrasi akan melaksanakan tugas-tugas itu sendiri dan mencari dukungan politik di luar partai politik yang dapat membantunya dalam merumuskan kebijakan politik. Dukungan politik itu, dapat diperoleh melalui tiga konsentrasi yakni: (1) pada masyarakat luar, (2) pada legislatif, dan (3) pada diri birokrasi itu sendiri.  Disisi lain  birokrasi mempunyai kekuasaan (power). Kekuasaan itu adalah kekuasaan untuk hidup tetap tinggal hidup selamanya (stating power) dan kekuasaan untuk membuat  keputusan (policy-making power).
Sementara itu, netralitas PNS  juga diharapkan sejalan dengan demokratisasi yang membawa pandangan bahwa birokrasi (PNS) harus bersifat netral dalam politik. Hal ini mempunyai makna PNS tidak diperkenankan menjadi pengurus/anggota partai politik dan tidak terlibat dalam kegiatan politik sebagai pendukung/simpatisan. Dengan demikian PNS  harus berdiri atas semua partai maupun golongan. Namun demikian sebagai warga Negara, PNS mempunyai "hak politik" yaitu hak untuk memilih dan hak untuk dipilih. Netralitas PNS bukanlah berarti PNS " harus buta politik" dan tidak peduli dengan perkembangan politik. Sebagai aparatur pemerintahan, PNS harus memahami perkembangan politik yang terjadi di tanah air, sehingga tidak mudah terombang ambing dalam kepentingan politik yang ada. PNS semata-mata hanya berkewajiban untuk memberhasilkan politik negara yang dilaksanakan presiden secara berjenjang sampai ke level yang terendah. Hal ini mengisyaratkan PNS harus benar-benar memahami politik pemerintahan sehingga dapat berperan maksimal dalam semua proses kebijakan yang diorientasikan dalam rangka mencapai cita-cita Negara, dan sekaligus sebagai pelayan masyarakat, bukan PNS yang dilayani oleh  masyarakat.
Sejalan dengan hal tersebut, pemerintah telah mengatur bahwa PNS yang tidak netral atau berpihak kepada salah satu kandidat akan ditindak tegas. Hal itu menimbulkan rasa skeptis dan pesimis, karena pada tahap implementasi sangat sulit. Peringatan tinggal peringatan, pelanggaran jalan terus. Pada tahap implementasi instrumen yang tersedia, menjadi "Singa Ompong" menghadapi realita.  Pada sisi lain, keberpihakan birokrasi pemerintah kepada partai politik atau pada golongan yang dominan menjadikan birokrasi tidak "steriil. Banyak virus yang terus menggorogotinya  seperti pelayanan yang memihak kepada orang-orang tertentu, jauh dari objektivitas, terlalu bertele-tele (birokratis) dan sebagainya. Akibtanya birokrasi merasa lebih kuat sendiri, kebal dari pengawasan dan kritik. Oleh karena itu, selama PNS tidak netral, selama itu pula, PNS hanya dapat memberikan pelayanan yang baik kepada orang-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar