Salah satu indikator untuk melihat keberhasilan pembangunan adalah semakin pesatnya jumlah penduduk perkotaan seperti dialami Indonesia mungkin dianggap sebagai hal yang menggembirakan, karena semakin tinggi angka migrasi akan semakin banyak jumlah penduduk yang tinggal diwilayah perkotaan berarti semakin banyak warga masyarakat yang melek huruf, modern dan inovatif. Tetapi, persoalannya sekarang adalah timbul akibat pertambahan penduduk yang pesat itu bagi kota yang memiliki lahan dan daya dukung ruang yang relatif terbatas.
Ketika di kota-kota besar terjadi over urbanization dan ketika spasial terasa semakin sesak, banyak problem mulai bermunculan terutama masalah pertanahan. Banyak orang memburu tanah bukan sekedar untuk dijadikan tempat tinggal. Namun, tanah seolah-olah telah menjadi semacam barang dagangan dan dianggap sumber rejeki yang paling menguntungkan. Di daerah-daerah pusat industri, perdagangan, dan pemukiman elit, atau daerah-daerah strategis lainnya harga tanah umumnya terus melonjat dan semakin tidak terkendali karena kebutuhan akan tanah dari hari ke hari semakin tinggi.
Penyerahan harga dan peruntukan tanah kepada mekanisme pasar adalah salah satu faktor yang membuat masalah pertanahan kota semakin kacau balau. Kompetisi yang bebas di mana semua orang bisa terlibat dalam bisnis tanah. Dampaknya adalah pelaksanaan rencana tata ruang menjadi semakin sulit dijalankan. Di samping itu, kemampuan pemerintah dalam mengelola kota atau membangun fasilitas publik juga menjadi semakin sulit alias terbatas.
Pihak yang menjadi penentu arah kebijakan pemanfaatan ruang kota akan berhadapan dengan kekuatan swasta yang acapkali dominan mempengaruhi kekuatan kelembagaan dalam menyusun kebijakan pembangunan kota. Disisi lain, kekuatan massa terutama kelompok marjinal kota acapkali menjadi pihak yang sama sekali tidak diperhitungkan dalam pengaturan dan pembagian spasial tata ruang kota. Selama ini di wilayah perkotaan kesempatan golongan miskin untuk memperoleh akses tanah umumnya cenderung semakin sulit, dan bahkan dalam banyak hal nyaris tidak ada. Sering terjadi, warga kota golongan menengah ke bawah semakin tersisih dari hasil pembangunan kota dan tersuksesi ke daerah pinggiran kota atau pemukiman kumuh. Suksesi yang dimaksud adalah proses tergantikannya penduduk asli oleh penduduk pendatang. Di kota-kota besar sering terjadi suksesi, yaitu terdesaknya penduduk kota yang miskin oleh penduduk pendatang yang secara sosial-ekonomi lebih mampu.
Kecenderungan yang sering terjadi di kota-kota besar dalam Negara-negara sedang berkembang adalah kota meluas ke arah pinggiran yang akan berdampak kepada pembagian tanah yang luas pula. Kemudian harga tanah bergerak semakin meningkat, sehingga yang dapat membeli tanah hanya orang-orang yang berkantong tebal dan orang miskin semakin tidak mampu membeli tanah. Persoalan adalah sering terjadi munculnya gelombang spekulasi adalah hak rakyat atas tanah menjadi terlupakan dan bahkan dalam banyak permasalah seolah-olah disisihkan begitu saja.
Di berbagai kota besar, setiap orang bisa dengan mudah melihat adanya tanah-tanah kosong yang dibiarkan begitu saja terlantar. Masalahnya bukan karena si pemilik tanah tidak memiliki dana yang cukup untuk membangun. Tetapi, karena tanah tersebut memang hanya sekedar dijadikan barang dagangan dan spekulatif saja untuk suatu saat dijual kembali jika harga tanah sudah betul-betul sangat menguntungkan.
Tanah-tanah pertanian di daearh-daerah pinggiran kota, akibat ulah spekulan tanah lambat-laun juga mulai menghilang dan sebagai gantinya muncul pusat-pusat industri atau kompleks-kompleks perumahan mewah. seiring dengan proses perkembangan kota menjadi metropolitas yang terjadi bukan cuma berubahnya fungsi tanah di daerah pinggiran kota, tetapi juga menyebabkan terjadinya pergeseran penduduk warga pinggiran kota dari sektor pertanian ke sektor non-pertanian.
Kecamata apapun yang digunakan untuk melihat kenyataan seperti di atas, tentu merupakan hal yang sangat ironis. Di satu sisi pembebasan lahan dilakukan secara besar-besaran diberbagai daerah yang sangat strategis, tetapi tidak segera diikuti dengan aktivitas pembangunan sehingga banyak ditemui kantong-katong lahan yang terlantar. Sementara itu, disisi lain terdapat ribuan penduduk hidup berdesak-desakan di rumah-rumah sempit, jauh dari pelayanan pusat kesehatan, dan acapkali terancam dan menjadi korban penggusuran. Gejala seperti jika dibiarkan berlarut-larut bukan tidak mungkin akan menyebabkan kecemburuan sosial dan keresahan sosial dikalangan masyarakat.
Kota yang terlalu ambisius mengejar status metropolitas seperti yang dikatakan J. E. Goldthorpe akan tumbuh "tanpa perasaan" dan cenderunng hanya melahirkan proses marginalisasi dan alienasi bagi warganya, khususnya yang berasal dari golongan masyarakat rentan. Benar di satu sisi kota-kota besar tumbuh dan semakin gemerlap, megah, dan sesuai dengan paradigma modernisasi yang disepakati oleh kebanyakan para perencana pembangunan. Namun, di saat yang bersamaan hak-hak warga kota yang miskin khususnya hak pemilikan tanah ternyata tidak diperhatikan, dan bahkan berbagai alasan mereka seolah-olah diperlakukan seperti pendatang baru yang hanya menodai kebersihan dan kemajuan kota itu sendiri. Penggusuran, operasi penerbitan, dan sejenisnya adalah fenomana sehari-hari yang dengan mudah kita lihat di kota-kota besar.
Pertumbuhan di Pusat Kota
Dalam rangka menuju kota metropolitan, adanya efek lompat katak atau perpindahan penduduk ke daerah pinggiran sesunggunhnya merupakan hal yang wajar, karena bagaimanapun kota yang mulai besar, daerah pusat kotanya pasti tidak lagi bisa diharapkan untuk menampung pertumbuhan penduduk yang kian padat. Persoalannya adalah jika efek lompat katak yang terjadi melulu hanya bidang pemukiman saja. Di berbagai kota besar untuk sebagian lahan pinggiran kota telah berubah fungsi pusat industri atau perkantoran, tetapi dalam banyak hal sesungguhnya di sana lebih banyak muncul wilayah-wilayah pemukiman baru, Menjamurnya berbagai perumahan di pinggiran kota adalah beberapa contoh yang menunjukkan efek buruk dari proses perpindahan penduduk yang hanya dalam bentuk pemukiman tidak diikuti dengan fasilitas lainnya. Dikatakan efek buruk karena berbagai daerah pinggiran itu hanya berfungsi sebagai tempat "tidur saja" sementara semua aktivitas kerja, belanja, atau mencari hiburan, sebagian besar penduduk di wilayah pinggiran itu toh tetap harus ke pusat kota.
Dalam hal ini pusat kota benar-benar dibangun semarak, sesibuk mungkin, dan bahkan hingga malam haripun pusat kota seolah-olah tidak pernah tidur. Sementara itu, wilayah pinggiran acapkali menjadi daerah tidur, sepi aktivitas, kecuali hanya sebagai tempat warga beristirahat dan hidup dengan dukungan fasilitas seadanya. Sekarang ini, akibat yang terjadi mulai sangat terasa adalah lalulitas kota terpaksa harus macet setiap hari karena mobilitas penduduk pada akhirnya berpola konsentrik dan seragam, dimana pada pagi hari kebanyakan penduduk di daerah pinggiran menuju pusat kota, sementara pada siang atau sore hari kembali menuju wilayah pinggiran
Terlalu terpusatnya kegiatan di tengah kota (central place) seringklai memancing meluasnya wilayah-wilayah kumuh (slums area) di wilayah tengah kota itu sendiri. Bagi warga kota kelas bawah yang tempat mencari nafkahnya di pusat kota seperti pemulung, sektor informal, tukang becak, dan sebagainya guna menghemat ongkos transportasi, logikanya cenderung mencari tempat tinggal yang dekat dengan tempat kerjanya, yaitu di pusat kota. Tetapi karena harga tanah semakin mahal dan wilayah pemukiman juga semakin berkurang, sementara tingkat penghasilan pas-pasan, maka pilihan yang biasanya diambil adalah mengontrak rumah dikampung-kampung kumuh di pusat kota.
Problem Mega-Urban
Disadari atau tidak, sumber utama kegagalan pembangunan dan penderitaan warga kota-kota besar disebabkan karena kebijakan yang represif dan kontradiktif. Hernando de Sato, dengan rinci dan cerdas menunjukkan bahwa akibat obsesi perencana kota yang ingin membangun kota serba megah dan indah sering menyebabkan mereka salah langkah.
Kenyataan empirik menunjukkan bahwa bersamaan dengan perkembangan kota-kota menjadi megacities yang timbul justeru setumpuk kekeliruan. Di balik wajah kota yang serba megah dan wah, ternyata yang "terselingkuh" bukan cuma kekumuhan dan kesemrawutan lalu litas, tetapi juga kesewenang-wenangan.
Kampung-kampung asli tak berdaya karena ditikung gedung-gedung pencakar langit. Pasar-pasar tradisional makin terpojok dijejas oleh pusat-pusat pembelanjaan super modern. Sementara itu, penggusuran tanah, penghapusan becak, peremajaan pemukiman kumuh, penertiban pedagang asongan, dan semacamnya adalah pemandangan rutin yang bisa dijumpai di berbagai kota di Indoneisa. Singkatnya, di kota yang makin modern sektor informal dan kaum marginal dianggap sebagai sebagai anak durhana yang harus dijauhi dan disingkirkan. Dampak yang ditimbulkan akibat penetrasi penduduk pusat kota ke daerah pinggiran yaitu: Pertama, Invasi penduduk kelas menengah kebawah ke wilayah agraris di daerah yang relatif masih subur akan menimbulkan kerugian ekologis. Kedua, perpindahan penduduk "lompat katak" akan menyebabkan benturan penduduk lama dengan penduduk pendatang baru.
Meningkatkanya harga tanah dan biaya hidup rata-rata akibat invasi pendatang dan perkembangan wilayah pinggiran pada gilirannya kemudian sering juga menyebabkan penduduki asli yang masih bertahan lambat laum menyingkir ke wilayah lain yang dipandang kondisinya lebih sesuai dan lebih ramah bagi mereka. Singkatnya, adalah penduduk asli yang seharusnya lebih berhak tinggal dan bisa ikut mencicipi hasil pembangunan, akan tetapi justeru satu persatu semakin tersisih dari tanah leluhurnya sendiri.
Penjelasan di atas, menunjukkan bahwa perkembangan kota menuju mega-urban tenyata tidak serta merta identik dengan kemajuan dan kesejahteraan. Kota yang tumbuh di bawah kendali pro kepada pradigma modernisasi yang semata-mata hanya mengejar kepentingan pertumbuhan ekonomi dan melayani kepentingan industrialisasi ternyata hanya melahirkan ketidakadilan, kekecewaan, dan proses marginalisasi masyarakat miskin.
Dalam era liberaslisasi, globalisasi dan perkembangan masyarakat pasca industri, selain dibutuhkan perencanaan dan penataan spasial yang lebih akomodatif tak pelak yang dibutuhkan adalah kepekaan dan visi para perencana pembangunan yang lebih berpihak kepada masyarakat miskin. Tanpa didukung oleh visi yang pro pada pertimbangan kemanusiaan, keadilan dan menghargai hak asasi masyarakat miskin, nicaya perkembangan kota di era globalisasi ibaratnya hanya seperti orang yang menggali lubang kuburnya sendiri.
Sekian dan terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar