NETRALITAS
PNS DALAM
PILKADA
Keharusan Atau
Pilihan?
OLEH
HARBANI
PASOLONG
Mahasiswa
Pascasarjana S3 Unhas Program Studi Ilmu Administrasi Publik)
Pada dasarnya netralisasi Pegawai Negeri Sipil
(PNS) dalam pilkada dapat dilihat dari
dua perspektif, yaitu: Pertama, PNS yang mencalonkan diri atau
dicalonkan oleh partai politik sebagai kandidat kepala daerah. Kedua,
PNS yang terlibat baik karena dilibatkan maupun karena melibatkan diri. Pada tataran normatif, PNS
sudah diatur dalam berbagai perangkat
peraturan perundang-undangan tentang netralitas dalam pilkada. Namun peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang hal tersebut saling bertentangan dalam pelaksanaannya.
Pegawai Negeri berkedudukan sebagai unsur
aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat
secara profesional, jujur, dan adil
dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan, dan pembangunan. Konsekuensi
dari kedudukan dan tugas seperti itu, PNS HARUS NETRAL dari pengaruh semua golongan
dan partai politik serta tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat. Untuk menjamin
netralitas PNS dilarang menjadi anggota dan atau pengurus partai politik, hal
ini diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 43 tahun 1999.
Berkaitan dengan pelaksanaan Pilkada dibeberapa
daerah, posisi PNS masih dianggap cukup terhormat dan diperhitungkan. Pada
posisi seperti itu PNS ditempatkan pada ranah yang strategis menjadi rebutan
para kandidat kepala daerah. Para
kandidat yakin satu PNS mampu menarik 3 ke atas orang. Kondisi seperti inilah
yang ditengarai menjadi titik rawan PNS tidak netral dalam penyelenggaraan
Pilkada.
Permasalahannya adalah bagaimana kondisi
peraturan perudang-undangan yang mengatur tentang netralitas PNS dalam PILKADA
dan sejauhmana posisi netral PNS dalam pilkada.
Di tengah perubahan sistem politik saat ini,
jajaran PNS dituntut lebih responsif terhadap berbagai perubahan yang terjadi
di tengah-tengah masyarakat. PNS sebagai penyelenggara pemerintahan harus
tanggap terhadap perkembangan yang
terjadi pada semua aspek kehidupan ekonomi, sosial, budaya, politik dan
ketertiban serta mampu mengendalikan, membimbing dan mengarahkan seluruh
dimensi kehdiupan bermasyarakat. Untuk mewujudkan semua itu, maka diperlukan
PNS yang professional, independent dan tidak terlibat dalam kekuatan sosial politik manapun (netral). Dengan demikian, dalam
penyelenggaraan pemerintahan PNS harus
menjunjung tinggi prinsip netralitas.
Prinsip ini merupakan basis idealisme pengabdian pelayanan publik yang prima,
dan disinilah tanggung jawab, moralitas dan
disiplin PNS diuji. Oleh karena itu,
netralitas PNS merupakan suatu keharusan, bukan sebagai sebuah pilihan.
Pada dasarnya netralitas birokrasi atau PNS
sudah menjadi pembicaraan lama diantara para ahli, yaitu kritik Marx terhadap filsafat
Hegel tentang negara yang menggambarkan bahwa posisi kenetralan birokrasi menjadi suatu yang penting. Namun demikian
dalam kritiknya, Marx hanya mengubah "isi" teori Hegel tentang tiga kelompok dalam
masyarakat, (1) kelompok kepentingan khusus (particular interest) dalam
hal ini diwakili oleh para pengusaha dan profesi, (2) kepentingan umum (general
interest) yang diwakili oleh negara,
dan (3) kelompok birokrasi. Marx menyatakan bahwa birokrasi sebaiknya
memposisikan dirinya sebagai kelompok
sosial tertentu yang dapat menjadi instrument dari kelompok yang dominan
atau penguasa. Jika hanya sebatas
sebagai penengah antara negara yang mewakili kelompok kepentingan umum dengan
kelompok kepentingan khsusus yang diwakili oleh pengusaha dan profesi, maka
birokrasi tidak akan berarti apa-apa. Dengan konsep seperti ini berarti Marx mengingikan birokrasi memihak kepada
kelompok yang berkuasa. Masa depan dan kepentingan birokrasi, pada tingkat tertentu menjalin hubungan yang sangat erat dengan
kelas dominan. Di sinilah netral atau
tidaknya suatu birokrasi sudah ramai
dibahas. Sedangkan konsep Hegel menyebut
tiga kelompok dalam masyarakat di atas menginginkan birokrasi berposisi netral (ditengah) antara kelompok
kepentingan umum yang dalam hal ini diwakili
oleh Negara dengan kelompok
pengusaha dan profesi sebagai kelompok kepentingan khusus. Jadi dalam hal ini
birokrasi menurut Hegel harus netral. Hal ini sejalan dengan peraturan yang
telah dibuat oleh pemerintah, namun pada tataran kenyataan, justeru yang terjadi adalah tidak netral alias pro terhadap salah
satu kandidat yang akan bertarung menduduki
nomor wahid di daerah.
Dalam perspektif lain, netralitas birokrasi pada mulanya
hanya berfungsi untuk melaksanakan kebijakan politik, akan tetapi
birokrasi bisa berperan membuat kebijakan.
Netralitas birokrasi dari politik
adalah hampir tidak mungkin. Sebab jika partai politik tidak mampu
memberikan alternatif program pengembangan dari mobilisasi dukungan maka
birokrasi akan melaksanakan tugas-tugas itu sendiri dan mencari dukungan
politik di luar partai politik yang dapat membantunya dalam merumuskan
kebijakan politik. Dukungan politik itu, dapat diperoleh melalui tiga
konsentrasi yakni: (1) pada masyarakat luar, (2) pada legislatif, dan (3) pada
diri birokrasi itu sendiri. Disisi lain birokrasi mempunyai kekuasaan (power).
Kekuasaan itu adalah kekuasaan untuk hidup tetap tinggal hidup selamanya (stating
power) dan kekuasaan untuk membuat
keputusan (policy-making power).
Sementara itu, netralitas PNS juga diharapkan sejalan dengan demokratisasi
yang membawa pandangan bahwa birokrasi (PNS) harus bersifat netral dalam politik.
Hal ini mempunyai makna PNS tidak diperkenankan menjadi pengurus/anggota partai
politik dan tidak terlibat dalam kegiatan politik sebagai pendukung/simpatisan.
Dengan demikian PNS harus berdiri atas
semua partai maupun golongan. Namun demikian sebagai warga Negara, PNS
mempunyai "hak politik" yaitu hak untuk memilih dan hak untuk
dipilih. Netralitas PNS bukanlah berarti PNS " harus buta politik"
dan tidak peduli dengan perkembangan politik. Sebagai aparatur pemerintahan,
PNS harus memahami perkembangan politik yang terjadi di tanah air, sehingga
tidak mudah terombang ambing dalam kepentingan politik yang ada. PNS
semata-mata hanya berkewajiban untuk memberhasilkan politik negara yang
dilaksanakan presiden secara berjenjang sampai ke level yang terendah. Hal ini
mengisyaratkan PNS harus benar-benar memahami politik pemerintahan sehingga
dapat berperan maksimal dalam semua proses kebijakan yang diorientasikan dalam
rangka mencapai cita-cita Negara, dan sekaligus sebagai pelayan masyarakat,
bukan PNS yang dilayani oleh masyarakat.
Sejalan dengan hal tersebut, pemerintah telah mengatur
bahwa PNS yang tidak netral atau berpihak kepada salah satu kandidat akan
ditindak tegas. Hal itu menimbulkan rasa skeptis dan pesimis, karena pada tahap
implementasi sangat sulit. Peringatan tinggal peringatan, pelanggaran jalan
terus. Pada tahap implementasi instrumen yang tersedia, menjadi "Singa
Ompong" menghadapi realita. Pada
sisi lain, keberpihakan birokrasi pemerintah kepada partai politik atau pada
golongan yang dominan menjadikan birokrasi tidak "steriil. Banyak virus
yang terus menggorogotinya seperti
pelayanan yang memihak kepada orang-orang tertentu, jauh dari objektivitas,
terlalu bertele-tele (birokratis) dan sebagainya. Akibtanya birokrasi merasa
lebih kuat sendiri, kebal dari pengawasan dan kritik. Oleh karena itu, selama
PNS tidak netral, selama itu pula, PNS hanya dapat memberikan pelayanan yang
baik kepada orang-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar