Rabu, 27 Juli 2011

PERATURAN PEMBATASAN JUMLAH ANAK

INDONESIA TIDAK PERLU PERATURAN PEMBATASAN KELAHIRAN:



OLEH
HARBANI PASOLONG


Kebijakan pemerintah untuk membatasi jumlah kelahiran sama halnya dengan  mengintervensi atau membatasi kebebasan seseorang yang sudah berkeluarga untuk menuai kebahagiaan. Karena pada dasarnya orang yang melahirkan melalui proses pernikahan  merupakan kebagiaan tersendiri bagi keluarga tersebut.  Pandangan dulu yang mengatakan bahwa banyak anak banyak reski merupakan suatu pandangan yang secara filosofis amat benar dan sampai sekarang seharusnya dipertahankan. Kondisi dulu dengan kondisi sekarang memang berbeda dalam konteks peradaban, tetapi dalam  konteks banyak anak banyak susah itu tidak benar, kecuali, jika nilai-nilai kemanusiaan tergantikan dengan nilai-nilai materi alias gila harta (Kapitalis). Membatasi seseorang yang sudah berkeluarga hanya memiliki dua anak sama halnya dengan tidak memberikan kesempatan anak ketiga keatas untuk bisa hidup dimuka bumi ini. Tidak memberikan kesempatan  seseorang untuk bisa hidup sama halnya dengan melarang hidup. Pelarangan untuk bisa hidup sama halnya dengan membunuh secara tidak langsung. Lantas apa perbedaan antara melarang hidup dengan membatasi seseorang untuk bisa hidup. Jawabannya "sama-sama membunuh", tetapi memang lebih mudah membunuh bibit manusia dari pada membunuh seseorang  yang sudah menjalani kehidupan dunia karena  bisa saja  melawan secara fisik maupun secara hukum.    


Ada beberapa permasalahan yang terkait dengan pembatasan kelahiran seseorang yaitu: Pertama, apakah memang reski manusia ditentukan oleh banyaknya bersaudara?. Jawaban yang pasti, tidak lain dan tidak bukan adalah  reski manusia ditentukan oleh Sang Maha Kuasa yaitu Tuhan. Kita sebagai umat yang beragama, kita harus meyakini bahwa setiap manusia dilahirkan di dunia ini pasti ada reskinya masing-masing yang diberikan oleh Tuhan. Tidak ada ayat, hadits dan ataupun hasil penelitian yang menunjukkan bahwa anak ketiga ke atas lebih sedikit reskinya dari pada anak kesatau dan anak kedua. Artinya tidak ada jaminan bahwa keluarga yang memiliki anak satu atau dua sudah pasti lebih kaya atau lebih bahagia ketimbang memiliki anak lebih dari dua, tapi yang pasti  banyak anak banyak reski, artinya  semua manusia yang dilahirkan di muka bumi ini sebagai  ciptaan Tuhan  merupakan reski bagi orang yang melahirkan, bukankah  anak yang dilahirkan melalui ridho Allah sebagai suatu reski. Kita sebagai umat yang beragama harus meyakini bahwa anak-anak yang dilahirkan itu merupakan suatu  reski yang tak ternilai harganya. Kita  tidak bisa membenarkan atau meng-amini jawaban yang mengatakan  anak  ketiga ke atas yang dilahirkan  sebagai sebuah musibah atau menyusahkan kedua orang tuanya dan atau menyusahkan orang lain termasuk pemerintah. Tidak ada jaminan (garansi),  bahwa  anak  kesatu dan kedua  akan lebih kaya atau lebih bahagia dari pada anak ketiga ke atas, boleh jadi anak ketiga ke atas yang justeru lebih kaya  atau lebih  bahagia dari pada anak sebelumnya. Kecualai kalau umat manusia sekarang ini memang lebih mengutamakan kekayaan materi  dibandingkan dengan kehadiran manusia yang lainnya untuk bisa hidup dimuka bumi ini. Karena  dengan peraturan membatasi kelahiran berarti membatasi orang lain (anak kecil = bayi) untuk dapat lahir atau dapat hidup di muka bumi ini. Kegiatan membatasi atau menghambat  proses  hidup dan kehidupan manusia   merupakan kegiatan yang menurut kecamata agama dan kecamata logika adalah "salah besar", apalagi kalau yang dilarang itu adalah orang yang sudah berkeluarga  (sudah menikah), yang perlu dilarang dan wajib dilarang untuk melahirkan adalah orang yang belum menikah, karena hal itu merupakan suatu perbuatan salah alias dosa besar.
Kedua,  Apakah ada hasil penelitian yang menunjukkan bahwa pada umumnya orang yang berhasil, baik dari segi kekayaan maupun dari segi status jabatan berasal dari orang-orang yang tidak mempunyai saudara atau orang-orang yang hanya dua bersaudara?. Kemudian   apakah secara realita  yang lebih dari dua anaknya lebih menderita dibandingkan dengan orang yang mempunyai satu atau dua anak?. Jawaban yang pasti, tidak ada kepastian alias tidak ada jaminan tentang hal tersebut, karena banyak orang yang memiliki lebih dari dua anak justeru berhasil semua. Tetapi sebaliknya banyak juga  keluarga yang memiliki cuma satu atau dua anak tidak lebih baik atau tidak lebih  bahagia dibandingkan dengan keluarga yang memiliki anak lebih dari dua.   Jika kesejahteraan ditentukan oleh jumlah anak yang sedikit,  maka orang cina mestinya lebih miskin dari  orang-orang pribumi, karena mereka pada umumnya memiliki jumlah anak lebih banyak ketimbang masyarakat pribumi.  Akan tetapi kenyataan empirik menunjukkan bahwa secara umum  masyarakat pribumi relatif lebih miskin ketimbang orang-orang cina. Hal  ini dapat dilihat dari banyaknya  orang-orang pribumi yang menjadi pembantu (dipekerjakan) pada orang-orang cina, sebaliknya orang-orang cina jarang  ditemukan  menjadi pembantu (dipekerjakan) sama orang-orang pribumi. Bahkan penduduk yang terbesar di dunia adalah peduduk cina, tapi bukan cina yang termiskin di dunia, tetapi justeru salah satu diantaranya adalah Indonesia, pada hal kebijakan atau pengaturan tentang  pembatasan  memiliki jumlah anak lebih dari dua  di Indonesia  sudah diterapkan puluhan tahun yang lalu. Pertanyaan berikut yang muncul  apakah betul kemiskinan di Indonesia disebakan oleh anak-anak ketiga ke atas?, ataukah karena disebabkan oleh para koruptor? Jawaban yang benar adalah disebabkan oleh yang terhormat  koruptor kita. Selanjutnya apakah orang-orang yang korup disebabkan  karena  memiliki jumlah anak lebih dari dua? Jawaban yang benar adalah bukan karena  memiliki  lebih dari dua anak, tetapi kemungkinan besar disebabkan oleh faktor keserakahan, bukan karena ketidakmampuan para koruptor kita  untuk membiayai anak ketiganya ke atas, karena pada umumnya orang yang korup bukan karena  secara ekonomi tidak mampu, tetapi hanya ketidakmampuan mereka menahan diri untuk memiliki yang bukan haknya.  
Ketiga, kebijakan tentang pemabatasan tentang kelahiran seseorang selama ini menimbulkan beban pasikolgi terhadap anak ketiga yang sudah terlanjur dilahirkan oleh seseorang yang berstatus sebagai   Pegawai Negeri Sipil, karena yang mendapatkan tunjangan hanya anak kesatu dan anak kedua, anak ketiga ke atas adalah anak swasta.  Ada dua diskriminasi yang dialamatkan kepada anak ketiga keatas yaitu: (1) Tidak  adannya tunjangan yang diberikan oleh pemerintah bagi anak ketiga ke atas, (2) Tidak adanya cuti melahirkan bagi ibu-ibu yang akan melahirkan anak ketiga keatas. Hal ini sangat ironis karena anak ketiga sangat dibedakan dengan anak pertama dan kedua, baik dari segi tunjangan maupun perlakuan bagi ibu-ibu yang sementara menghamilkan anak ketiganya, karena tidak diberikan cuti melahirkan, hal ini berarti bahwa ibu-ibu bisa saja melahirkan dalam perjalan atau di kantor tempat bekerjanya. Pada hal idealnya ibu-ibu yang hamil diberikan cuti paling sedikitnya  tiga bulan sebelum melahirkan dan enam  bulan setelah  melahirkan. Tujuannya, yaitu tiga bulan masa persiapan melahirkan dan enam bulan masa menyusui sebagai tanda rasa kasih sayang ibu-ibu terhadap anak-anaknya, bukan dengan menggantikannya dengan susu kaleng  dan kasih sayang dialihkan kepembantu rumah tangga. Karena hal ini akan berpengaruh secara psikologi terhadap perkembangan anak-anak tersebut. Dalam psikologi perkembangan dikatakan bahwa perkembangan manusia ditentukan oleh dua faktor yaitu: (1) faktor endogen, yaitu faktor keturunan berpengaruh terhadap perkembangan anak dan (2) faktor eksogen, yaitu faktor lingkungan  berpengaruh terhadap perkembangan anak. Dalam artian bahwa ibu-ibu yang akan melahirkan seharusnya diperlakukan secara baik, begitu pula setelah melahirkan karena hal tersebut berpengaruh dalam perkembangan anak.        
Oleh karena itu, untuk merumuskan  suatu kebijakan sebaiknya didasarkan pada dua hal paling tidak, yaitu: (1)  didasarkan pada hasil-hasil penelitian yang valid, dan (2) tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai agama.   

1 komentar: